Senin, 30 Desember 2013

BUDAYA DAN KEHARMONISAN



  • Menurut Wikipedia 
Budaya adalah suatu cara hidup yang berkembang dan dimiliki bersama oleh sebuah kelompok orang dan diwariskan dari generasi ke generasi. Budaya terbentuk dari banyak unsur yang rumit, termasuk sistem agama dan politik, adat istiadat, bahasa, perkakas, pakaian, bangunan, dan karya seni. Bahasa, sebagaimana juga budaya, merupakan bagian tak terpisahkan dari diri manusia sehingga banyak orang cenderung menganggapnya diwariskan secara genetis.
  • Kamus Besar Bahasa Indonesia
Budaya diartikan sebagai pikiran, akal budi atau adat-istiadat. Secara tata bahasa, pengertian kebudayaan diturunkan dari kata budaya yang cenderung menunjuk pada pola pikir manusia.
  • Budaya Menurut Linton
Budaya adalah : Keseluruhan dari pengetahuan, sikap dan pola perilaku yang merupakan kebiasaan yang dimiliki dan diwariskan oleh anggota suatu masyarakat tertentu.
Kalau kita melihat kebelakang, Nusantara ini banyak sejarah mengungkapkan bahwa Nusantara ini memiliki kerajaan-kerajaan. Kerajaan yang ada saat itu seperti kerjaan Sriwijaya, kerajaan Syilendra, kerajaan Majapahit dan kerajaan lainnya memiliki budaya-budaya yang sangat kental. Budaya pada saat itu berbeda dengan budaya saat ini.
Jadi, kalau kita tinjau secara Dhamma, Buddha memberikan sebuah uraian yang sangat baik bagi menilai sebuah budaya/tradisi. Sebuah kebudayaan tidak semata-mata jauh dari kemunafikan tetapi ada budaya-budaya yang selaras dengan Dhamma. Untuk memudahkan kita dalam memilih bukan asal percaya, Buddha Gotama memberikan wejangan dalam Kalama Sutta seperti yang dirangkum berikut:
Sang Buddha menyatakan: Suku Kalama, memang sudah sewajarnya kalian bimbang dan bingung.
Karena dengan kebimbangan dan kebingungan, tiada kebenaran, menjauhkan kita dari kebebasan (keselamatan).
Maka itulah, suku Kalama, jangan semata-mata mempercayai meskipun hal itu tampak benar dan dianut oleh mayoritas, jangan semata-mata mempercayai meskipun suatu hal merupakan tradisi yang telah diwariskan turun temurun, jangan semata-mata mempercayai meskipun suatu hal tercantum dalam kitab-kitab suci, jangan semata-mata mempercayai meskipun suatu hal disampaikan oleh tokoh-tokoh agama ternama,tetapi suku Kalama, seandainya kalian sendiri telah menyadarinya, merenungkannya, berdasarkan akal sehat dan pengalaman sendiri, bahwa sesuatu hal itu memang patut diterima atau dipercayai, mengandung kebenaran, menuju kebahagiaan, maka sudah selayaknya, suku Kalama, untuk menerima, dan hidup berdasarkan hal-hal tersebut.
(Kalama Sutta; Anguttara Nikaya 3.65)
Seperti apa budaya yang selaras dengan dhamma?
1.       Puja Bakti
Puja bakti adalah bentuk penghormatan yang dilakukan oleh siswa sang buddha dengan tujuan berkumpul dan mengulang kembali ajaran sang Buddha dan praktik dhamma yang lainnya. Puja bakti ini bermunculan belakangan akibat dipengaruhi oleh lingkungan yang ada saat ini khususnya di Indonesia. Dizaman sang buddha, para siswa datang ketempat sang buddha untuk diskusi dhamma, minta petunjuk untuk melakukan meditasi dan para siswa lalu mempraktikkannya.
2.       SPD (sebulan pendalaman dhamma)
Untuk menyambut datangnya peringatan Waisak, umat melakukan sebulan pendalaman Dhamma. Didalamnya, umat melakukan diskusi Dhamma, bermeditasi, melaksanakan Uposatha sîla dan melakukan kebajikan yang lainnya. Hal ini pula merupakan budaya baru yang dilakukan oleh umat buddha. Di zaman sang Buddha, budaya ini tidak ada sama sekali.

Budaya-budaya tersebut sangatlah baik dan perlu dilakukan jangka panjang. Budaya ini sangatlah tidak bertentangan dengan praktik dhamma. Sehingga dengan keharmonisan akan bisa diwujudkan. Manusia yang tidak paham akan hal ini, bisa saja menghilangkan budaya dan tradisi yang ada alias arti budaya. Bahkan pelaku sejarang memberikan pesan seperti berikut:

 IR. SOEKARNO (JANGAN LUPAKAN SEJARAH)

JANGAN sekali-kali melupakan sejarah". Itulah tajuk pidato Ir. Soekarno sebelum lengser dari kursi kepresidenan. Pesan singkat agar orang tidak melupakan sejarah berujung menjadi harapan hampa. Sejarah hanya dimaknai dalam urutan tanggal untuk sekadar diperingati sebatas momen seremonial. Apa makna hakiki dari peristiwanya itu sendiri jarang atau bahkan sama sekali tak disentuh.
Demikian juga dengan Soekarno, presiden pertama RI yang juga dikenal sebagai founding father republik ini. Di masa Orde Baru (Orba) peran Soekarno dikerdilkan sebatas sebagai proklamator atau presiden pertama RI yang di akhir masa pemerintahan tersangkut dengan ideologi komunisme yang dikembangkan oleh PKI.
Namun, tidak pernah terungkap bagaimana pemikiran-pemikiran Soekarno dan jiwa besarnya. Sebagai tokoh legendaris, ia dikenal sebagai orang yang visioner, populis, orator, dan pemimpin yang karismatik.
Ia menjadi sosok yang menjadi idola rakyatnya. Hanya karena keyakinan politiknya dan kurang cepat dalam menyelesaikan persoalan politik yang berkecamuk pada tahun 1965, sosok Soekarno lengser dan hilang selama lebih dari tiga dekade.
Konferensi Asia Afrika (KAA) pada 1955 sejatinya adalah salah satu titik kulminasi dari perjuangan panjang dan idealisme menghapuskan imperialisme dan kolonialisme dari muka bumi.

Konferensi Asia Afrika (KAA) atau juga sering disebut Konferensi Bandung adalah salah satu di antara berbagai kancah perjuangan besar Soekarno bagi bangsa Indonesia dan juga bangsa-bangsa lainnya.
Satu hal pasti, Konferensi Bandung adalah penggerak penting dalam perubahan-perubahan besar di Asia Afrika, sesudah selesainya Perang Dunia II. Juga menjadi pendobrak utama sehingga di Afrika terjadi dinamika politik dan perubahan besar untuk mencapai kemerdekaan.

Dalam tulisannya Konferensi Bandung: Kancah Perjuangan Besar Bung Karno, pelaku sejarah dan seorang pengagum Bung Karno, A. Umar Said mengungkapkan bagi banyak pemimpin bangsa dan tokoh angkatan tua gerakan progresif berbagai negeri Asia-Afrika, Bandung dan Soekarno adalah dua nama yang tidak terpisahkan dan sampai sekarang, tertanam secara terhormat dalam ingatan mereka.
Ia menceritakan ketika Konferensi Asia Afrika diselenggarakan mulai 18 sampai 25 April 1955, sejak beberapa bulan sebelum dibuka, rakyat Indonesia sudah mengikuti (lewat pers dan RRI) persiapan-persiapan yang mendahuluinya. Antara lain, adanya Konferensi Kolombo (April tahun 1954) yang dihadiri oleh Jawaharlal Nehru dari India, U Nu dari Burma (Myanmar), Mohamad Ali dari Pakistan, John Kotelawala dari Sri Langka (Ceylon, waktu itu), dan Ali Sastroamidjoyo yang mewakili Bung Karno.
Kemudian, hasil Konferensi Kolombo dilanjutkan dengan konferensi Panca Negara di Bogor (Desember 1954) untuk menetapkan acara konferensi Asia Afrika di Bandung (yang akan diadakan 5 bulan kemudian), merumuskan tujuannya dan juga negara-negara yang diundang.

Di Benua Afrika khususnya, kata Said, pada waktu itu masih banyak negara yang dalam status jajahan dan semi jajahan, dan karenanya tidak bisa atau belum bisa mengirimkan peserta secara resmi. Justru dari segi ini pulalah Konferensi Bandung memberikan sumbangan besar kepada berbagai rakyat Afrika, karena mereka kemudian mendapat dorongan untuk mempercepat dan mengembangkan perjuangan mereka untuk merebut kemerdekaan nasional.
Itulah sebabnya, sampai sekarang, nama Bandung dan Soekarno tetap sangat terkenal di Afrika. Konferensi Bandung dimasukkan sebagai bagian penting dalam buku-buku pelajaran sejarah.

Bagi para pemimpin perjuangan rakyat berbagai negeri di Afrika (waktu itu) nama Bung Karno (atau nama Bandung, atau nama Indonesia) adalah nama yang amat terhormat. Entah berapa kali Gamal Abdul Nasser (Mesir), Anwar Sadat (Mesir), Ahmad Ben Bella (Aljazair), L. Sedar Senghor (Senegal), Modibo Keita (Mali), Sekou Touri (Guinea), Dr. Kwame Nkrumah (Ghana), Patrice Lumumba (Conggo), Mugabe (Zambia), Julius Nyerere (Tanganyika, yang kemudian menjadi Tanzania), Salim Ahmad Salim (Zanzibar, yang kemudian menjadi Sekjen OAU/Organisasi Persatuan Afrika), dan Nelson Mandela (Afrika Selatan) menyebut-nyebut nama Soekarno dan Bandung dalam pidato-pidato atau tulisan mereka.

Kembali pada tajuk pidato Soekarno menjelang epilog kekuasaannya, bagaimanapun, kehormatan dan keterbukaan sejarah adalah bagian layak bagi mereka yang berhak.
Kesimpulan:
Budaya dan tradisi berada ditengah masyarakat yang notabene ragam jenisnya. Pandangan bermunculan selalu ada. Kita yang mengerti dhamma akan berpegang teguh para prinsip dhamma. Budaya yang ada tidak selalu negatif dan merugikan. Pilar sebuah agama sesungguhnya ada dua, yaitu buddhaya/tridisi dan ajaran. Dua hal ini tidak bisa dipisahkan dan dihilangkan. Jadi, lakukan budaya ini selama itu baik dan tidak merugikan diri sendiri dan makhluk lain hingga keharmonisan tetap terjaga bukan menimbulkan percekcokkan akibat anti Budaya/tradisi.

BY Upasîlo



Tidak ada komentar: